Kamis, 06 Desember 2012

Benarkah Tuhan Yesus dilahirkan tanggal 25 Desember ?


“Lalu kata malaikat itu kepada mereka: "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” ( Lukas 2:10-11 ).

Bagaimana dengan perayaan Natal, perayaan mengenang kelahiran Yesus di Betlehem ( Mat 1:18, Mat 2:12 , Luk 2:1-20 ), yang umumnya dirayakan umat Kristen pada tanggal 25 Desember setiap tahun ? Ada yang menganggap perayaan ini sebagai perayaan kafir sebab :

Yesus tidak dilahirkan pada bulan Desember

, tetapi bulan Tishri ( September-Oktober ), dan tanggal 25 Desember adalah hari peringatan Dewa Matahari ( Saturnalia ).
Pada bulan apakah Yesus dilahirkan ? Benarkah seperti yang dikatakan tradisi gereja yang menyebutkan Yesus dilahirkan pada tanggal 25 Desember ? Kelihatannya tanggal dan bulan ini memang tidak tepat, soalnya pada bulan Desember-Januari, di Yudea, iklimnya cukup dingin dengan beberapa tempat bersalju sehingga agaknya tidak mungkin para gembala bisa berada di Padang Efrata dalam keadaan musim demikian ( Bdk Luk 2:8). Demikian juga Kaisar Agustus tentunya tidak akan mengeluarkan kebijakan sensus dan menyuruh penduduk Yudea melakukan perjalanan jauh dalam suasana musim dingin yang mencekam.

Ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa Yesus mungkin dilahirkan pada sekitar bulan Tishri ( September- Oktober ), yaitu pada saat hari raya Pondok Daun pada saat iklimnya menunjang. Argumentasi bulan Tishri dikemukakan karena masa penugasan Zakharia masuk ke Bait Allah adalah sekitar bulan Siwan ( Mei-Juni). Dengan memperhitungkan lama kandungan Elizabeth dan Maria, diperkirakan kelahiran Yesus terjadi pada sekitar Hari Raya Pondok Daun ( September- Oktober ).
Sekalipun kemungkinan kelahiran Yesus pada bulan Desember adalah jauh mengingat musimnya dan ada yang memperkirakan sekitar bulan September-Oktober, kita tidak akan tahu secara pasti pada bulan apa Yesus lahir di dunia dan yang perlu dikenang oleh umat Kristen bukan perayaannya pada hari tertentu, melainkan makna kelahiran Juruselamatnya.

Umat Kristen pada abad pertama tidak merayakan Natal seperti umat Kristen sekarang. Mereka lebih terpukau untuk merayakan hari kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus yang dikenal sebagai hari Paskah, dan belum memikirkan hari kelahiran-Nya. Sebenarnya, hari Epifani (manifestasi ) yang dirayakan oleh Gereja Timur (Ortodoks) pada tanggal 6 Januari dimaksudkan untuk merayakan hari pembaptisan Yesus di Sungai Yordan. Perayaan Epifani juga masih dirayakan saat ini dengan memberkati air baptisan di gereja Timur dan Sungai Yordan. Hal ini sudah dilakukan sejak abad ke3.
Di Gereja Barat ( Katolik ), hari Epifani itu dirayakan juga untuk mengingat kunjungan orang Majus untuk menyembah bayi Yesus. Sejak abad ke-4, perayaan ini dilakukan untuk mengenang peristiwa yang terjadi sekitar manifestasi kelahiran Yesus di Betlehem. Dalam kaitan dengan perayaan pembaptisan Yesus itu, pada malam tanggal 5 Januari sekaligus dirayakan peringatan kelahiran Yesus. Data tertulis yang mencatat perayaan kelahiran Yesus itu sudah ada pada abad ke-4.


Pada tahun 274, hari kelahiran Dewa Matahari mulai dirayakan di Roma khususnya pada tanggal 25 Desember sebagai penutup festival Saturnalia ( 17-24 Desember) di mana matahari mulai kembali menampakkan sinarnya dengan kuat pada akhir salju tanggal itu. Menghadapi perayaan kafir yang sangat kuat ini, umat Kristen umumnya meninggalkannya dan tidak lagi mengikuti upacara tersebut. Namun dengan adanya proselitasi ( Pengkristenan ) orang Roma secara massal sejak Kaisar Konstantin menjadi Kristen, banyak orang Roma yang tetap merayakan hari Dewa Matahari itu sekalipun telah mengikuti agama Kristen. Kenyataan ini mendorong para pemimpin gereja kala itu berusaha mengalihkan penyembahan Dewa Matahari itu dan menggantinya menjadi perayaan Matahari Kebenaran, yang kemudian menggantinya menjadi “Perayaan Natal”.


Sejak tahun 336, secara resmi perayaan Natal dilakukan pada tanggal 25 Desember sebagai pengganti tanggal 5-6 Januari. Ketentuan ini diresmikan oleh Kaisar Konstantin yang kala itu menjadi lambang Raja Kristen. Perayaan Natal kemudian dirayakan di Anthiokia ( Tahun 375 ), Konstantinopel ( tahun 380), dan Aleksandria, Mesir ( tahun 430), yang kemudian menyebar ke tempat-tempat lain.


Dari data sejarah tersebut kita dapat mengetahui bahwa Natal bukanlah perayaan Dewa Matahari. Namun, untuk mengalihkan orang Roma dari perayaan Dewa Matahari ke arah Tuhan Yesus Kristus, tradisi perayaan Natal tanggal 5-6 Januari digeser ke sini, agar umat Kristen tidak lagi mengikuti tradisi kafir dengan merayakan hari Dewa Matahari.


Sekalipun kala itu masih ada umat Kristen yang mendua hati dengan masih merayakan hari Dewa Matahari, namun umat Kristen yang bertobat tidak lagi mengartikan hari itu sebagai hari Dewa Matahari, tetapi sebagai peringatan kelahiran Tuhan Yesus Kristus .

Kesimpulan

Merayakan hari Natal sebagai perayaan Kristen baik sekali untuk mengenang kelahiran Immanuel, Allah yang inkarnasi menjadi manusia Yesus, agar sekeluarga dapat menghormati-Nya dan menganut ajaran-Nya dengan sepenuh hati karena Tuhan Yesus yang menjadi Juruselamat manusia telah hadir di bumi dan mendatangkan sukacita dan damai sejahtera bagi manusia, sesuai berita sukacita Natal sebagai berikut :

“ Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi diantara manusia yang berkenan kepada-Nya…Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka…” ( Luk 2:14,20)

ekonomi politik papua


 


Kontestasi politik yang sekarang ini sedang terjadi di Papua adalah hasil dari proses transisi politik yang tidak tuntas dari zaman Orde Baru ke era Reformasi. Di balik pengakuan Polri atas dana bantuan operasional yang diterima dari PT Freeport, terdapat beberapa hal yang bisa dilihat dari sebuah transisi rezim di sebuah negara seperti Indonesia. Dalam posisi yang sekarang, Indonesia sebenarnya tidak pada tahapan transisi dari sebuah model birokrasi yang otoriter menuju demokrasi liberal, tetapi lebih dari itu. Pemerintahan Orde Baru tidak serta-merta hilang dengan sendirinya dan tergantikan oleh elite reformis yang membawa semangat pembaharuan. Birokrat dan kalangan bisnis yang banyak mendapat perlindungan dari rezim Orde Baru mendapatkan kembali aliansinya dengan bermetamorfosis menjadi sebuah kekuatan aliansi baru di dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Mengapa hal ini terjadi? Setidaknya ada dua penjelasan rasional yang bisa menjadi penjawab fenomena Polri dan PT Freeport, khususnya dalam konteks Papua. Pertama, semasa Orde Baru, PT Freeport termasuk di dalam aliansi birokrasi-pemilik modal yang bersumbu di Cendana. Bukan hanya PT Freeport, BUMN dan perusahaan swasta nasional lainnya juga termasuk dalam aliansi ini. Mereka tidak hanya mendapatkan akses yang luar biasa terhadap pasar (seperti Bulog, yang memonopoli kebutuhan pangan se-Indonesia), tetapi juga mendapat kemudahan operasional, bahkan tidak pernah tersentuh oleh audit.
Kekuasaan yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa membuat aliansi yang terbangun ini mengkristal dan digunakan oleh rezim Orde Baru sebagai “bahan bakar” dalam menjalankan roda pemerintahan. Perlu diingat bahwa, selain mendapat keuntungan dari dekatnya pemilik modal dengan elite birokrat, mereka (kalangan bisnis) harus membayar sebagian hasil dari keuntungan operasional kepada Cendana (yang jumlah dan bentuknya bervariasi) atau setidaknya mengirim laba perusahaan ke yayasan yang dipimpin oleh Soeharto.
Setelah Orde Baru lengser pada akhir periode 1998, pola aliansi ini kemudian mencoba bertahan di tengah tekanan kaum reformis dan agenda reformasi yang justru banyak dibantu oleh kekuatan asing, di antaranya IMF dan World Bank. Anehnya, semakin orde reformasi lantang menyerukan perubahan, aliansi ini tidak lantas bubar. Mereka menjelma menjadi aliansi baru dan mengorganisasikan kembali kekuatan dalam sistem demokrasi yang belum stabil. Apa buktinya?
Salah satu hal yang jelas terjadi adalah ketika desentralisasi yang sudah dicanangkan sejak 2001 belum menunjukkan prestasi yang gemilang. Terlepas dari keberhasilannya, banyak terjadi penyimpangan, tumpang-tindih kewenangan pusat dan daerah, dan yang lebih parah adalah munculnya endemi korupsi yang menyeret puluhan kepala daerah ke pengadilan. Dalam situasi yang seperti ini, pola kedua pun terjadi, di mana aliansi yang dulu terbangun mencoba memanfaatkan pola birokrasi yang tidak menentu ini (dalam masa desentralisasi) untuk mengamankan kepentingan masing-masing.
Sebetulnya hal ini lumrah terjadi mengingat aktor bisnis adalah pelaku pasar yang rasional. Tindakan mencari aman demi kelancaran produksi tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di Negara lain. Pemerintah yang seharusnya muncul sebagai aktor independen, justru memihak pemilik modal dan bukan lebih memfokuskan kepada peningkatan pelayanan publik. Atau lain lagi, iklim investasi di Indonesia yang semakin tidak kompetitif berperan besar dalam kasus keluarnya perusahaan-perusahaan asing dari Indonesia. Lamanya perizinan, rumitnya birokrasi dan besarnya dana yang harus dibayar kepada oknum birokrat menambah berat beban externalities dari perusahaan perusahaan ini. Sehingga pilihan menjadi semakin sulit bagi investor, bertahan dengan risiko peningkatan total biaya produksi dikarenakan ongkos transaksi yang mahal atau menarik investasi dan keluar dari Indonesia. Keduanya sangat tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia.
Dalam konteks otonomi, pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah tidak hanya dibaca sebagai pelimpahan tanggung jawab tetapi juga pelimpahan kekuasaan. Bupati/ kepala daerah adalah raja kecil yang bisa melakukan apa pun dalam wewenang mereka yang sangat besar. Kondisi karut-marut ekonomi politik di Papua adalah lahan basah bagi oknum birokrat untuk menarik keuntungan dari kalangan bisnis. Di sinilah istilah administrative patrimonial mendapatkan tempat, di mana oknum dan elite penguasa menggunakan kondisi yang tidak menentu untuk meraih keuntungan mereka. Singkatnya, investor mengambil jalan pertama, yaitu menerima risiko atas tingginya ongkos transaksi.
Akan sangat proporsional apabila melihat institusi pemerintah sebagai aktor pelayan masyarakat dan bukan hanya melayani pemilik modal. Perlu juga dipertimbangkan untuk betul-betul melakukan pengawasan melekat terhadap semua instansi pemerintah yang berurusan dengan ranah publik. Setidaknya jangan sampai membuat ranah publik dan privat menjadi sesuatu yang tidak jelas sehingga proses rent-seeking (pengambilan keuntungan) oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ini terjadi lagi. Dalam kapasitasnya, Polri tentunya adalah lembaga yang sangat kredibel dan mampu menjalankan tugasnya demi pelayanan kepada rakyat Indonesia.